MANADO, MSN
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2022 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Umum (Pemilu) mengakui eksistensi masyarakat adat sebagai elemen penting dalam penyelenggaraan pemilu. Maka dari itu masyarakat adat di Sulawesi Utara (Sulut) diminta untuk tetap berperan aktif dalam setiap tahapan pemilu dengan berbagai bentuk partisipasi.
Hal tersebut disampaikan anggota KPU Sulut Meidy Tinangon, ketika menjadi nara sumber diskusi bertajuk “Masyarakat Adat Kawal Pemilu” yang digelar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Pengurus Wilayah Sulut di Benteng Moraya Tondano-Minahasa, Rabu (9/8/2023).
Dalam diskusi yang digelar dalam rangka Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS), menyebutkan bahwa dalam PKPU Parmas disebutkan bahwa partisipasi merupakan hak masyarakat termasuk madyarakat adat.
Tinangon juga memberi apresiasai kepada PW AMAN Sulut atas concern-nya dalam penyelenggaraan pemilu. Khususnya dengan digelarnya diskusi pendidikan politik kepemiluan. “AMAN dalam pemilu tahun 2019 adalah pemantau pemilu terakreditasi di Bawaslu. Pada pilkada 2020 merupakan mitra KPU Sulut yang banyak berperan dalam program pendidikan pemilih (voters education), dan saat ini beberapa kader AMAN juga adalah penyelenggara pemilu,” ungkap Tinangon yang juga mantan penasehat AMAN Sulut dan pendiri serta mantan Ketua Gerakan Minahasa Muda (GMM).
Terkait kedaulatan politik masyarakat adat di Sulut, Tinangon menyebutkan bahwa jika menelisik jejak historis kultural dalam peradaban masyarakat Minahasa khususnya, maka Sulut, khususnya Minahasa merupakan pionir demokrasi Indonesia.
Demokrasi menurutnya, telah berakar dalam kultur masyarakat Minahasa jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Hal tersebut dapat dilihat dari sistem masyarakat Minahasa tempo dulu yang tidak mengenal sistem kerajaan tetapi lebih mengutamakan musyawarah.
“Masyarakat Minahasa mulai dari ‘awu’ (keluarga), taranak, roong atau wanua hingga pakasaan lebih mengedepankan permusyawaratan dalam hikmat dan kebijaksanaan yang merupakan salah satu inti demokrasi,” ungkapnya.
Lebih lanjut, disebutkan terkait Dewan Wali Pakasaan yang merupakan struktur kultural pengambilan keputusan oleh para perwakilan masyarakat di masing-masing wilayah (pakasaan).
Dari sisi demokrasi elektoral, Tinangon menyebut bauwa sebelum Indonesia merdeka, Minahasa telah mempraktekan pemilu melalui pemilihan ukung (hukum tua/kepala desa). Juga ada pemilu lokal sebelum 1945 untuk memilih anggota Minahasa Raad (Dewan Minahasa) yang merupakan lembaga legislatif di tanah adat Minahasa saat itu.
“Karena pengalaman historis kuktural tersebut, maka pasca proklamasi kemerdekaan, pemerintah Indonesia melakukan semacam ‘uji coba’ pemilu di 2 tempat yaitu Yogyakarta dan Minahasa pad atahun1951, sebelum pemilu nasional pertama pada tahun 1955,” ungkap mantan Ketua KPU Minahasa tersebut.
Dengan jejak historis kultural tersebut, maka masyarakat adat ataupun ormas adat di Minahasa, harus mempertahankan predikat sebagai pionir demokrasi Indonesia dengan terus konsisten berpartisipasi mengawal pemilu yang LUBER dan Jurdil. “Masyarakat adat, jangan golput!,” ungkap Tinangon dalam closing statementnya. (AOAT)