MANADO, MSN
Sejumlah tantangan fundamental dalam program Koperasi Desa Merah Putih yang diinisiasi pemerintah pusat. Frederik G. Worang, SE., BSBA., MCom., PhD, seorang dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), menyoroti sekaligus mempertanyakan efektivitas program yang dinilainya berpotensi menimbulkan pembiayaan yang tidak produktif.
Worang menyoroti skema pendanaan program yang menyuntikkan pinjaman miliaran rupiah ke setiap desa. Menurutnya, realitas di lapangan berpotensi membuat dana tersebut “mati”.
“Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain barang dagangan yang belum tersedia, sementara kewajiban pengembalian pinjaman dan biaya operasional (seperti gaji pengurus) sudah harus berjalan. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai mekanisme pengembalian dana yang direncanakan,” katanya, Selasa (7/10/2025).
Alih-alih mendanai koperasi baru, Worang menganjurkan agar anggaran dialihkan untuk membangun industri pendukung pertanian, seperti pabrik pupuk dan pabrik susu. Langkah ini dinilai akan memberikan dampak ganda yang lebih konkret:
Mengurangi Defisit dan Tekanan pada Nilai Tukar: Selama ini, Indonesia masih mengimpor berbagai komoditas seperti beras, pupuk, gula, dan susu. Impor ini menghabiskan devisa dalam dollar AS, yang turut berkontribusi pada pelemahan nilai tukar Rupiah.
Dengan membangun pabrik pupuk dalam negeri, biaya produksi pertanian dapat ditekan. Hal ini akan mendorong petani untuk kembali menanam, misalnya padi, sehingga pasokan beras dalam negeri stabil dan harga terkendali. Selain itu, pendirian pabrik-pabrik tersebut akan membuka lapangan kerja baru.
“Langkah strategis seperti pembangunan pabrik pupuk dan susu akan lebih efektif dalam menyerap tenaga kerja dan menghemat devisa ketimbang program yang berisiko tinggi seperti Koperasi Merah Putih,” pungkasnya. (sonny dinar)